Dunia Bukan Rumah Kita
Siapakah manusia yang tidak mengalami kesulitan? Tentu semua kita mengalami kesulitan dan kesukaran-kesukaran. Bahkan, Saudaraku, umat pilihan Tuhan yang paling kudus, umat pilihan Tuhan yang paling baik, umat pilihan Tuhan yang paling terpilih akan mengalami risiko kehidupan. Ini bagian hidup yang tak terpisahkan. Kalau kenyataan ini, harus kita terima dengan lapang; kenyataan ini tidak boleh kita tolak, sehingga kita berusaha menghindari apa yang seharusnya kita alami. Ketika kita menghadapi kesukaran, Saudara-saudaraku, kita tidak berpikir bagaimana lari sejauh mungkin atau menghindari secepat mungkin, tetapi kita mulai bertanya, “Apa yang Tuhan mau kerjakan dalam hidupku? Apa yang Tuhan mau garap dalam hidupku melalui kesukaran ini?” Coba, Saudaraku, perhatikan, pasti ada kesukaran dalam hidup Saudara. Kalau bukan masalah ekonomi, nanti masalah keluarga; kalau bukan masalah istri, masalah suami, masalah anak, masalah mertua, masalah tetangga; ada saja.
Saya berkeyakinan, dari pengalaman hidup dan kebenaran Firman yang saya pelajari, Tuhan
tidak akan berusaha membuat dunia sekitar kita menjadi Firdaus. Tidak akan, sebab hal itu akan membahayakan bagi kita. Tuhan tidak akan membuat dunia sekitar kita menjadi Firdaus. Tuhan akan mengajarkan kepada kita bahwa dunia bukan rumah kita. Lewat kesukaran-kesukaran hidup yang kita alami, Saudaraku sekalian, yang pertama kita akan diingatkan bahwa dunia bukan Firdaus. Dunia bukan rumah kita. The world is not our own home—bukan rumah kita.
Orang-orang yang tidak bermasalah hidup, orang-orang yang menikmati kehidupan tanpa kesukaran, tanpa masalah punya potensi besar untuk terhilang; punya potensi besar untuk tidak mengharapkan dunia lain; punya potensi besar untuk tidak merindukan rumah Bapa; punya potensi besar untuk tidak mengadakan ziarah atau pengembaraan menuju langit baru, bumi baru. Seorang yang hidup tanpa masalah punya potensi besar untuk memberhalakan dan mendewakan keadaan hidupnya yang bagai Firdaus itu, sehingga Tuhan pun akan tidak dibutuhkan.
Oleh sebab itu Saudaraku sekalian, inilah galibnya manusia; inilah pada umumnya manusia—dia harus terus diingatkan; dia harus terus disadarkan. Jadi kesukaran-kesukaran itu harus kita anggap seperti berkat atau menjadi berkat bagi kita, Saudaraku. Itu kalau istilah dalam dunia elektronik, itu bisa menjadi sekering, Saudaraku. Sekering—kalau ndak ada sekering, bahaya, Saudaraku. Biarlah Tuhan izinkan ada sekering dalam hidup kita. Ya, sekali-kali kita mengalami masalah, jadi kalau ada konslet, lalu sekering putus, rumah gelap—ya, gelap—lebih baik gelap daripada kebakaran, Saudara, ya. Lebih baik gelap dulu. Kenapa “listrik jatuh”?—itu istilah yang sering kita gunakan—Kenapa listrik mati? Kenapa sekering jatuh? Ya? Putus, kenapa? Hmm… karena ada konslet. Lebih baik sekering jatuh, jadi gelap sementara daripada sekering tidak jatuh, lalu tidak ada kegelapan, lalu kebakaran.
Nah, ini masalah. Kesukaran demi kesukaran hidup itu sungguh merupakan bagian dari menu berkat yang Tuhan sediakan bagi kita. Tapi kita percaya bahwa Tuhan tidak bermaksud melukai kita; Tuhan tidak bermaksud menyengsarakan kita; Tuhan tidak bermaksud mau menyakiti kita, Saudaraku; tapi Tuhan mau menyelamatkan kita lewat kesukaran-kesukaran hidup yang kita alami.
Kesukaran-kesukaran hidup itu juga membuat kita menjadi dewasa. Ya, dewasa. Selain supaya kita berpaling kepada Tuhan, bisa, tapi juga membuat kita jadi dewasa. Acapkali kesombongan-kesombongan kita harus dipatahkan dengan masalah hidup yang kita alami. Sifat, karakter, kepribadian kita yang rendah, yang tidak bernilai luhur, harus diremukkan dengan masalah-masalah yang kita alami. Sungguh, Tuhan mengerti bagaimana menggarap karakter setiap individu karena Tuhan adalah Arsitek Jiwa yang menciptakan jiwa manusia, dan Tuhan tahu bagaimana terapi setiap jiwa; bagaimana penanganan, bagaimana penanggulangan setiap karakter itu.
Ada seorang yang berkata begini, “Pak, saya bisnis ‘ndak pernah deh meledak.” “Maksudnya?” saya tanya. “Ya, seperti orang-orang begitu lho Pak, booming, meledak. Sekali untung, breg, sekian ratus milyar atau sekian puluh milyar atau sekian milyar. Ya… saya beginilah Pak, dari hari ke hari untung ya pas untuk hidup, pas untuk melanjutkan bisnis yang ada.” Saya jawab, “Kalau bisnismu booming, meledak, ini bisa membahayakan. Bisa membahayakan! Orang kaya mendadak itu jadi sombong; jadi sewenang-wenang terhadap orang lain, dan lain sebagainya. Dan yang konyol, dia bisa melupakan Tuhan. Dia bisa melupakan apa yang bernilai abadi dalam hidup ini.” Oleh sebab itu Tuhan memang menahan, menahan berkat jasmani itu. Tuhan memang membuat bisnisnya ya, berjalan biasa-biasa saja. Kadang-kadang malah bermasalah. Tapi itulah terapi yang baik untuk anak Tuhan tersebut, supaya dia jangan menjadi rusak jika bisnisnya booming.
Tapi kalau kita mengerti hal ini, lalu kita tidak menjadikan itu masalah, bisnis kita ya begitu-begitu saja, ya, tidak kita jadikan masalah; rumah tangga kita, keadaan kita, ya tidak seperti yang kita harapkan; lalu kita bertumbuh terus dalam kebenaran Tuhan, akhirnya, Saudaraku, hal yang kita anggap dulu sebagai kesukaran, bukan kesukaran, karena kita bisa menikmati Tuhan dan kehadiran-Nya. Di sini kita diajar Tuhan, Saudaraku, tidak menjadikan sesuatu sebagai pusat kehidupan. Apakah itu uang; apakah itu situasi yang nyaman dalam hidup; apakah itu keluarga; apakah itu bisnis; atau apa pun; kesukaran-kesukaran itu akan menggiring kita kepada kedewasaan rohani di mana kita menjadikan Tuhan pusat kehidupan. Tuhan menjadi pusat kehidupan kita. Jadi, kesukaran itu akhirnya menjadi berkat; kesukaran itu akhirnya menjadi pemicu kita bertumbuh dalam kedewasaan rohani.
Nah, pertanyaannya, apakah kita terus mengalami kesukaran? Apa kita terus mengalami kesulitan? Tadi saya sudah awali dengan satu penjelasan bahwa kesukaran itu bagian hidup yang tidak terpisahkan. Tetapi kalau seseorang menjadi dewasa rohani, dan mengerti bagaimana mengisi hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan, maka kesukaran-kesukaran yang dialami pasti bukan kesukaran karena kesalahannya; kesukaran-kesukaran itu tentu tidak akan mengganggu pengabdian dan pelayanannya kepada Tuhan; dan biasanya justru kesukaran-kesukaran itu adalah kesukaran-kesukaran di mana dia berkesempatan memikul salib. Memikul salib Tuhan. Jadi kalau kita tidak punya masalah karena salah kita, kalau kita tidak punya kesukaran karena kesalahan kita, kalau kita tidak punya kesulitan, kita harus memikul kesulitan orang lain, yaitu beban pekerjaan Tuhan yang menjadi tanggung jawab kita untuk kita pikul bagi kepentingan kerajaan Surga. Nah, di sini seseorang akan bisa dipercaya memikul salib. Salib artinya penderitaan, demi kebahagiaan orang lain. Belajarlah memikul kesukaran itu dan melewatinya, baru kita bisa dipercayai memikul salib, yaitu kesulitan yang kita alami demi kebahagiaan orang lain.
Kiranya Tuhan memberkati Saudara-saudara sekalian dengan kebenaran yang kita dengar ini. SolaGracia.
Saya berkeyakinan, dari pengalaman hidup dan kebenaran Firman yang saya pelajari, Tuhan
tidak akan berusaha membuat dunia sekitar kita menjadi Firdaus. Tidak akan, sebab hal itu akan membahayakan bagi kita. Tuhan tidak akan membuat dunia sekitar kita menjadi Firdaus. Tuhan akan mengajarkan kepada kita bahwa dunia bukan rumah kita. Lewat kesukaran-kesukaran hidup yang kita alami, Saudaraku sekalian, yang pertama kita akan diingatkan bahwa dunia bukan Firdaus. Dunia bukan rumah kita. The world is not our own home—bukan rumah kita.
Orang-orang yang tidak bermasalah hidup, orang-orang yang menikmati kehidupan tanpa kesukaran, tanpa masalah punya potensi besar untuk terhilang; punya potensi besar untuk tidak mengharapkan dunia lain; punya potensi besar untuk tidak merindukan rumah Bapa; punya potensi besar untuk tidak mengadakan ziarah atau pengembaraan menuju langit baru, bumi baru. Seorang yang hidup tanpa masalah punya potensi besar untuk memberhalakan dan mendewakan keadaan hidupnya yang bagai Firdaus itu, sehingga Tuhan pun akan tidak dibutuhkan.
Oleh sebab itu Saudaraku sekalian, inilah galibnya manusia; inilah pada umumnya manusia—dia harus terus diingatkan; dia harus terus disadarkan. Jadi kesukaran-kesukaran itu harus kita anggap seperti berkat atau menjadi berkat bagi kita, Saudaraku. Itu kalau istilah dalam dunia elektronik, itu bisa menjadi sekering, Saudaraku. Sekering—kalau ndak ada sekering, bahaya, Saudaraku. Biarlah Tuhan izinkan ada sekering dalam hidup kita. Ya, sekali-kali kita mengalami masalah, jadi kalau ada konslet, lalu sekering putus, rumah gelap—ya, gelap—lebih baik gelap daripada kebakaran, Saudara, ya. Lebih baik gelap dulu. Kenapa “listrik jatuh”?—itu istilah yang sering kita gunakan—Kenapa listrik mati? Kenapa sekering jatuh? Ya? Putus, kenapa? Hmm… karena ada konslet. Lebih baik sekering jatuh, jadi gelap sementara daripada sekering tidak jatuh, lalu tidak ada kegelapan, lalu kebakaran.
Nah, ini masalah. Kesukaran demi kesukaran hidup itu sungguh merupakan bagian dari menu berkat yang Tuhan sediakan bagi kita. Tapi kita percaya bahwa Tuhan tidak bermaksud melukai kita; Tuhan tidak bermaksud menyengsarakan kita; Tuhan tidak bermaksud mau menyakiti kita, Saudaraku; tapi Tuhan mau menyelamatkan kita lewat kesukaran-kesukaran hidup yang kita alami.
Kesukaran-kesukaran hidup itu juga membuat kita menjadi dewasa. Ya, dewasa. Selain supaya kita berpaling kepada Tuhan, bisa, tapi juga membuat kita jadi dewasa. Acapkali kesombongan-kesombongan kita harus dipatahkan dengan masalah hidup yang kita alami. Sifat, karakter, kepribadian kita yang rendah, yang tidak bernilai luhur, harus diremukkan dengan masalah-masalah yang kita alami. Sungguh, Tuhan mengerti bagaimana menggarap karakter setiap individu karena Tuhan adalah Arsitek Jiwa yang menciptakan jiwa manusia, dan Tuhan tahu bagaimana terapi setiap jiwa; bagaimana penanganan, bagaimana penanggulangan setiap karakter itu.
Ada seorang yang berkata begini, “Pak, saya bisnis ‘ndak pernah deh meledak.” “Maksudnya?” saya tanya. “Ya, seperti orang-orang begitu lho Pak, booming, meledak. Sekali untung, breg, sekian ratus milyar atau sekian puluh milyar atau sekian milyar. Ya… saya beginilah Pak, dari hari ke hari untung ya pas untuk hidup, pas untuk melanjutkan bisnis yang ada.” Saya jawab, “Kalau bisnismu booming, meledak, ini bisa membahayakan. Bisa membahayakan! Orang kaya mendadak itu jadi sombong; jadi sewenang-wenang terhadap orang lain, dan lain sebagainya. Dan yang konyol, dia bisa melupakan Tuhan. Dia bisa melupakan apa yang bernilai abadi dalam hidup ini.” Oleh sebab itu Tuhan memang menahan, menahan berkat jasmani itu. Tuhan memang membuat bisnisnya ya, berjalan biasa-biasa saja. Kadang-kadang malah bermasalah. Tapi itulah terapi yang baik untuk anak Tuhan tersebut, supaya dia jangan menjadi rusak jika bisnisnya booming.
Tapi kalau kita mengerti hal ini, lalu kita tidak menjadikan itu masalah, bisnis kita ya begitu-begitu saja, ya, tidak kita jadikan masalah; rumah tangga kita, keadaan kita, ya tidak seperti yang kita harapkan; lalu kita bertumbuh terus dalam kebenaran Tuhan, akhirnya, Saudaraku, hal yang kita anggap dulu sebagai kesukaran, bukan kesukaran, karena kita bisa menikmati Tuhan dan kehadiran-Nya. Di sini kita diajar Tuhan, Saudaraku, tidak menjadikan sesuatu sebagai pusat kehidupan. Apakah itu uang; apakah itu situasi yang nyaman dalam hidup; apakah itu keluarga; apakah itu bisnis; atau apa pun; kesukaran-kesukaran itu akan menggiring kita kepada kedewasaan rohani di mana kita menjadikan Tuhan pusat kehidupan. Tuhan menjadi pusat kehidupan kita. Jadi, kesukaran itu akhirnya menjadi berkat; kesukaran itu akhirnya menjadi pemicu kita bertumbuh dalam kedewasaan rohani.
Nah, pertanyaannya, apakah kita terus mengalami kesukaran? Apa kita terus mengalami kesulitan? Tadi saya sudah awali dengan satu penjelasan bahwa kesukaran itu bagian hidup yang tidak terpisahkan. Tetapi kalau seseorang menjadi dewasa rohani, dan mengerti bagaimana mengisi hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan, maka kesukaran-kesukaran yang dialami pasti bukan kesukaran karena kesalahannya; kesukaran-kesukaran itu tentu tidak akan mengganggu pengabdian dan pelayanannya kepada Tuhan; dan biasanya justru kesukaran-kesukaran itu adalah kesukaran-kesukaran di mana dia berkesempatan memikul salib. Memikul salib Tuhan. Jadi kalau kita tidak punya masalah karena salah kita, kalau kita tidak punya kesukaran karena kesalahan kita, kalau kita tidak punya kesulitan, kita harus memikul kesulitan orang lain, yaitu beban pekerjaan Tuhan yang menjadi tanggung jawab kita untuk kita pikul bagi kepentingan kerajaan Surga. Nah, di sini seseorang akan bisa dipercaya memikul salib. Salib artinya penderitaan, demi kebahagiaan orang lain. Belajarlah memikul kesukaran itu dan melewatinya, baru kita bisa dipercayai memikul salib, yaitu kesulitan yang kita alami demi kebahagiaan orang lain.
Kiranya Tuhan memberkati Saudara-saudara sekalian dengan kebenaran yang kita dengar ini. SolaGracia.
Komentar